Translate this

Selasa, 08 Juli 2014

Riba, Macam-Macam Riba dan Tentang Bunga Bank


RIBA DAN MACAM-MACAM RIBA

Pengertian riba
Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Ayat al-qur’an yang mengharamkan riba :
Surat al-baqarah : 275

artinya : 

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Macam-Macam Riba
Ibnu al-Qayyim, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Isa menerangkan bahwa riba ada dua macam, yaitu :
a) Riba yang jelas, yang diharamkan karena adanya keadaan sendiri, yaitu riba nasiah (riba yang terjadi karena adanya penundaan pembayaran hutang). Riba nasiah ini hanya di perbolehkan dalam keadaan darurat.
b) Riba yang samar, yang diharamkan karena sebab lain, yaitu riba yang terjadi karena adanya tambahan pada jual beli benda/bahan yang sejenis

Menurut para ulama, riba ada empat macam :

Ø   Riba yadd
Riba jenis ini terjadi karena adanya penundaan dalam membayar suatu barang. Kedua belah pihak yang melakukan transaksi ini telah terpisah dari tempat aqad sebelum diadakannya serah terima barang.
Contoh :
Misalnya, seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, sipenjual langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang apakah cukup atau tidak. Jual beli ini belum jelas yang sebenarnya

Ø  Riba nasaa’/ nasii’ah.
Riba ini adalah penambahan nilai atas sanksi yang diberikan pihak pemberi hutang kepada orang yang melakukan hutang karena keterlambatan pembayaran hutang yang tidak sesuai dengan waktu jatuh tempo pembayaran.
Contoh :
Misalnya, si A meminjamkan uang sebanyak 200 juta kepada si B; dengan perjanjian si B harus mengembalikan hutang tersebut pada tanggal 1 Januari 2009; dan jika si B menunda pembayaran hutangnya dari waktu yang telah ditentukan (1 Januari 2009), maka si B wajib membayar tambahan atas keterlambatannya; misalnya 10% dari total hutang. Tambahan pembayaran di sini bisa saja sebagai bentuk sanksi atas keterlambatan si B dalam melunasi hutangnya, atau sebagai tambahan hutang baru karena pemberian tenggat waktu baru oleh si A kepada si B. Tambahan inilah yang disebut dengan riba nasii’ah.

Ø  Riba qardl / Qardhi
Peminjaman uang atau barang kepada orang lain dengan syarat si peminjam akan memberikan kelebihan atau keuntungan terhadap pihak yang memberikan pinjaman.
Contoh :
Misalnya, Si A meminjam uang kepada si B sebesar Rp. 1000 dengan syarat bahwa si A harus mengembalikan hutang kepada si B sebesar Rp. 1100 (dilebihkan)

Ø  Riba fadlal / fadhl
Riba jenis ini adalah mengambil kelebihan atau penambahan nilai dari adanya pertukaran barang yang sejenis.
Contoh :
Misalnya, orang yang membeli suatu barang, kemudian sebelumnya ia menerima barang tersebut dari sipenjual, pembeli menjualnya kepada orang lain. Jual beli seperti itu tidak boleh, sebab jual-beli masih dalam ikatan dengan pihak pertama.



                                                        BUNGA BANK

Ulama Islam berpandangan bahwa bunga uang me­rupakan bagian dari teori riba. Ibnu Qayyim membedakan antara riba terang-terangan (al-jali) dan riba terselubung (al-khafi). Definisi fiqih yang menjelaskan riba karena perpanjangan waktu (an-nasi'ah) dan riba dalam pertukaran barang sejenis (al-fadl). Bunga bank termasuk dalam riba nasi'ah ini. Jadi, teori pembungaan uang hanya merupakan bagian dari teori riba yang jauh lebih komprehensif. Dan pembungaan uang oleh bank lebih parah dari praktik riba nasi'ah pada zaman Jahiliah dimana riba nasi'ah di zaman Jahiliyah baru dikenakan pada saat peminjam tidak mampu melunasi utangnya dan meminta perpanjangan waktu. Bila si pe­minjam mampu melunasi pada saat jatuh temponya, tidak dikenakan riba, padahal bank konvensional telah mengenakan bunga sehari setelah uang dipinjamkan.

Menurut fatwa MUI tentang bunga adalah sebagai berikut:

·         Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di per-hitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut,berdasarkan tempo waktu,diperhitungkan secara pasti di muka,dan pada umumnya berdasarkan persentase.
·        Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penagguhan dalam pembayaran yang di perjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah.

Hukum Bunga (interest) menurut fatwa MUI adalah:

Ø  Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.

Ø  Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram,baik di lakukan oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.

0 komentar:

Posting Komentar