RIBA DAN MACAM-MACAM RIBA
Pengertian
riba
Riba
berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian
berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan
kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam
pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar .
Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta
pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba,
namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah
pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam
secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Ayat
al-qur’an yang mengharamkan riba :
Surat al-baqarah : 275
artinya :
”Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Macam-Macam
Riba
Ibnu
al-Qayyim, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Isa menerangkan bahwa riba ada
dua macam, yaitu :
a) Riba yang jelas,
yang diharamkan karena adanya keadaan sendiri, yaitu riba nasiah (riba yang
terjadi karena adanya penundaan pembayaran hutang). Riba nasiah ini hanya di
perbolehkan dalam keadaan darurat.
b) Riba yang samar,
yang diharamkan karena sebab lain, yaitu riba yang terjadi karena adanya
tambahan pada jual beli benda/bahan yang sejenis
Menurut
para ulama, riba ada empat macam :
Ø Riba yadd
Riba
jenis ini terjadi karena adanya penundaan dalam membayar suatu barang. Kedua
belah pihak yang melakukan transaksi ini telah terpisah dari tempat aqad
sebelum diadakannya serah terima barang.
Contoh :
Misalnya,
seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, sipenjual langsung pergi
sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang apakah cukup atau tidak. Jual
beli ini belum jelas yang sebenarnya
Ø Riba
nasaa’/ nasii’ah.
Riba
ini adalah penambahan nilai atas sanksi yang diberikan pihak pemberi hutang
kepada orang yang melakukan hutang karena keterlambatan pembayaran hutang yang
tidak sesuai dengan waktu jatuh tempo pembayaran.
Contoh :
Misalnya,
si A meminjamkan uang sebanyak 200 juta kepada si B; dengan perjanjian si B
harus mengembalikan hutang tersebut pada tanggal 1 Januari 2009; dan jika si B
menunda pembayaran hutangnya dari waktu yang telah ditentukan (1 Januari 2009),
maka si B wajib membayar tambahan atas keterlambatannya; misalnya 10% dari
total hutang. Tambahan pembayaran di sini bisa saja sebagai bentuk sanksi atas
keterlambatan si B dalam melunasi hutangnya, atau sebagai tambahan hutang baru
karena pemberian tenggat waktu baru oleh si A kepada si B. Tambahan inilah yang
disebut dengan riba nasii’ah.
Ø Riba
qardl / Qardhi
Peminjaman
uang atau barang kepada orang lain dengan syarat si peminjam akan memberikan
kelebihan atau keuntungan terhadap pihak yang memberikan pinjaman.
Contoh :
Misalnya,
Si A meminjam uang kepada si B sebesar Rp. 1000 dengan syarat bahwa si A harus
mengembalikan hutang kepada si B sebesar Rp. 1100 (dilebihkan)
Ø Riba
fadlal / fadhl
Riba
jenis ini adalah mengambil kelebihan atau penambahan nilai dari adanya
pertukaran barang yang sejenis.
Contoh :
Misalnya,
orang yang membeli suatu barang, kemudian sebelumnya ia menerima barang tersebut
dari sipenjual, pembeli menjualnya kepada orang lain. Jual beli seperti itu
tidak boleh, sebab jual-beli masih dalam ikatan dengan pihak pertama.
BUNGA
BANK
Ulama
Islam berpandangan bahwa bunga uang merupakan bagian dari teori riba. Ibnu
Qayyim membedakan antara riba terang-terangan (al-jali) dan riba terselubung
(al-khafi). Definisi fiqih yang menjelaskan riba karena perpanjangan waktu
(an-nasi'ah) dan riba dalam pertukaran barang sejenis (al-fadl). Bunga bank
termasuk dalam riba nasi'ah ini. Jadi, teori pembungaan uang hanya merupakan
bagian dari teori riba yang jauh lebih komprehensif. Dan pembungaan uang oleh
bank lebih parah dari praktik riba nasi'ah pada zaman Jahiliah dimana riba
nasi'ah di zaman Jahiliyah baru dikenakan pada saat peminjam tidak mampu
melunasi utangnya dan meminta perpanjangan waktu. Bila si peminjam mampu
melunasi pada saat jatuh temponya, tidak dikenakan riba, padahal bank
konvensional telah mengenakan bunga sehari setelah uang dipinjamkan.
Menurut fatwa MUI
tentang bunga adalah sebagai berikut:
·
Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan
yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di per-hitungkan
dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok
tersebut,berdasarkan tempo waktu,diperhitungkan secara pasti di muka,dan pada
umumnya berdasarkan persentase.
· Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa
imbalan yang terjadi karena penagguhan dalam pembayaran yang di perjanjikan
sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah.
Hukum Bunga (interest)
menurut fatwa MUI adalah:
Ø Praktek
pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman
Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang
ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.
Ø Praktek
Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram,baik di lakukan oleh Bank,
Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun
dilakukan oleh individu.
0 komentar:
Posting Komentar