Translate this

Selasa, 10 Februari 2015

makalah ushul fiqh : IFTA’, TAQLID, TALFIQ DAN HIDAYAH

IFTA’, TAQLID, TALFIQ DAN HIDAYAH

D
I
S
U
S
U
N

Oleh


Heri Ananda : 211222438





FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

BANDA ACEH 2014












KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan karunia-Nya makalah yang berjudul “Ifta’, Taqliq, Talfiq dan Hidayah”  ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun sebagai tugas untuk mata kuliah Ushul Fiqh.
            Keberhasilan penulis dalam penulisan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
            Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.








Banda Aceh, Desember 2014


Penulis









DAFTAR ISI

Kata pengantar……………………………………….….……………………...…i
Daftar isi………………..…………………………………...……………..............ii

Bab I Pendahuluan..................................................................................................1
a)     Latar Belakang......................................................................................1
b)    Rumusan Masalah.................................................................................1
Bab II Pembahasan………………………..…………...……………………........2
a)     Ifta’, ......................................................................................................2
b)    Taqliq....................................................................................................4
c)     Talfiq  ...................................................................................................7
d)    Hidayah.................................................................................................9

Bab III Penutup…..………………………………………………………….......11
Kesimpulan.............................................................................................................11
Daftar Pustaka…………..……………………………………………...………..12


 BAB I
PENDAHULUAN
A.   latar belakang
Agama Islam yang diturunkan oleh Allah SWT melalui Rasulullah SAW agar menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran Rasulullah SAW diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat untuk menjadi petunjuk bagi umat Islam. Petunjuk-petunjuk tersebut dapat dipahami melalui sunnah Rasul. Sunah Rasul dipahami oleh para Sahabat dan para Tabi’in dalam persepsi yang berbeda. Maka itu semua menimbulkan berbagai ajaran dalam Agama Islam. Kemudian para Imam-imam salaf As-Shaleh mencoba untuk menjelaskan kembali itu semua dalam pandangan mereka yang intinya satu, yaitu ajaran Rasul. Sehingga dari berbagai pandangan para ulama, maka lahirlah istilah mazhab.
Dalam perkembangannya, timbul permasalahan apakah seseorang boleh untuk berpindah mazhab atau menggabungkan antara mazhab yang satu dengan yang lainnya yang disebut dengan Talfiq. Kemudian dari kaidah-kaidah yang telah dirumuskan oleh Imam Mazhab, muncullah permasalahan-permasalahan baru. Oleh sebab itu, diperlukan adanya fatwa-fatwa atas permasalahan tersebut demi kemaslahatan bersama. Maka, dalam makalah ini, kami akan membahas tentang Taqliq, Talfiq dan segala yang berkaitan dengan fatwa (Ifta’).
B.     RUMUSAN MASALAH
·         Ifta’
·         Taqliq
·         Talfiq 
·         Hidayah




BAB II
PEMBAHASAN
A.   IFTA’
Ifta artinya memberikan penjelasan, secara definitif  memang sulit merumuskan tentang arti ifta’ atau fatwa itu, namun dapat di rumuskan sebagai berikut, yaitu  “Usaha memberikan penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya”.Dari rumusan sederhana tersebut, dengan mudah diketahui hakikat atau ciri-ciri tertentu dari berfatwa tersebut, yaitu :
a)      Ia adalah usaha  yg memberikan  penjelasan.
b)      penjelasan yang diberikan ialah tentang hukum syara’yang diperoleh melalui hasil ijtihad.
c)      yang memberikan penjelasan adalah  orang yang ahli dalam bidang yang dijelaskannya itu.
d)     penjelasan itu diberikan kepada orang yang bertanya yang belum mengetahui hukumnya
penjelasan tentang kriteria tersebut, sekaligus menjelaskan rukun dari ifta, yaitu:
a)      Ia adalah usaha  yg memberikan  penjelasan.
ada pakar ushul fiqh yang membandingkan ifta’ dengaan ijtihad, ia menyimpulkan bahwa ifta’ itu lebih khusus dari pada ijtihad. kekhususan itu adalah: ifta’ dilakukan setelah orang bertanya, sedangkan ijtihad dilakukan tanpa menunggu adanya pertanyaan dari pihak manapun.[1]
            Referensi lain mengatakan bahwa ijtihad adalah usaha menggali hukum dari sumber dan dalilnya, sedangka ifta’ adalah usaha menyampaikan hasil penggalian melalui ijtihad tersebut kepada orang yang bertanya. ifta adalah salah satu cara menyampaikan hasil ijtihad kepada orang lain melalui ucapan atau melalui perbuatan seperti ketukan palu seorang hakim di pengadilan .
b)      orang yang menyampaikan jawaban hukum terhadap orang yang bertanya yang disebut mufti. sifat sifat ideal bagi seorang mufti adalah :
·         Kuat niatnya. Diharapkan bagi seorang mufti dalam memberikan fatwa hanya semata-mata karenaa Allah.
·         berpengetahuan, sabar, penuh hormat dan tenang. pengetahuan merupakan modal yang sangat penting bagi seorang mufti.
·         kuat terhadap yang dikuasainya dan terhadap yang diketahuinya. dan sebagainya yang baik dalam agamanya.[2]
c)      orang yang meminta penjelasan hukum kepada yang telah mengetahui nya disebabkan oleh ketidak tahuan tentang hukum suatu kejadian (kasus) yang terjadi. orang ini disebut mustafti.
d)     materi jawaban hukum syara’ yang disampaikan oleh mufti kepada mustafti yang diisebut Fatwa. Fatwa adalah hukum syara’ yang disampaikan oleh mufti kepada mustafti,  bukan hal hal yang berada diluar hukum syara’. hukum syara itu adalah hasil ijtihad seorang mujtahid.
Bagi orang Awam menanyakan masalah kepada para ahli diperintahkan oleh tuhan dalam firmannya!
Artinya: Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.






B.   TAQLID
1. Pengertian
Kata Taqlid, fi`ilnya adalah Qallada, Yuqallida, Taqliidan, Artinya mengalungi,meniru, mengikuti. Ulama ushul fiqh mendefinisikan Taqlid “penerimaan perkataan seseorang sedangkan engkau tidak mengetahui dari mana asal kata itu”.
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, Taqlid ialah mengikuti pandapat orang lain yang dianggap terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum agama Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau mudzarat hukum itu.
Dan yang berkaitan dengan taqlid adalah ittiba’.ittiba’ adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : "Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi’(orang yang mengikuti).
Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW.
2. Hukum Taqlid
1.      Taqlid yang haram
Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini.Taqlid ini ada tiga macam :
a. Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.
b. Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya, seperti orang yang menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan, keahlian, atau kekuatan berhala tersebut.
c. Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.[3]
2.      Taqlid yang dibolehkan
Dibolehkan bertaqlid kepada seorang mujtahid atau beberapa orang mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui hukum Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan dengan persoalan atau peristiwa, dengan syarat yang bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti itu. Jadi sifatnya sementara. Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama.
Ulama muta akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi kelompok masyarakat kedalam dua golongan:
a. Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat madzhab.
b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama.
Golongan awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar pendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa).
3.      Taqlid yang diwajibkan
Wajib bertaqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW.


3. Taqlid yang Berkembang
Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal ( Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali).
Jamaludin al Qusini (W. 1332 H) : “segala perkataan atau pendapat dalam suatu mazhab itu tidak dapat dipandang sebagai mazhab tersebut, tetapi hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang yang mengatakan perkataan itu”.
Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.

4. Pendapat Imam Mazhab tentang Taqlid
a. Imam Abu Hanifah (80-150 H) Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.
b. Imam Malik bin Anas (93-179 H) Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dahulu sebelum diamalkan.
c. Imam asy Syafi`i (150-204 H) Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “ beliau akan meninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW.
d. Imam Hambali (164-241 H) Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya.Sedang yang berasal dari tabi`in dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu.Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.

C.    TALFIQ
1)      Pengertian Talfiq menurut bahasa adalah menutup, menambal, tak dapat mencapai, dan lain sebagainya.Adapun “talfiq” yang dimaksudkan dalam pembahasan ushul fiqh adalah “Beramal dalam suatu masalah dengan hukum yang terdiri dari kumpulan (gabungan) dari dua madzhab atau lebih.[4]
2)      Hukum Talfiq Terdapat beberapa perbedaan pendapat mengenai status hukum talfiq. Ada pendapat yang membolehkan talfiq dan ada pendapat yang tidak membolehkan talfiq. Diantara pendapat itu ialah :
·         Menurut Al-Kamal bin Al-Humam, yang membolehkan talfiq dalam segala hal, walaupun dalam soal ibadah dan dengan maksud mencari keringanan, dengan alasan :
Ø  Tidak ada nas dalam al-Qur’an maupun Sunnah yang mewajibkan seseorang harus terikat dengan satu pendapat atau madzhab seorang ulama tertentu. Demikian juga tidak ada nas yang secara tegas melarang seseorang untuk berpindah mazhab. Yang ada adalah nas tentang kewajiban orang yang tidak mengerti untuk bertanya kepada ulama (adz-dzikr), sesuai dengan keumuman ayat : “Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.”
Ø  Pada hakikatnya, talfiq berlaku hanya pada masalah fiqhiyah (hasil ijtidah para Imam Mujtahid). Dalam masalah ini berlaku kaidah “Ijtihad tidak dapat digugurkan oleh ijtihad lain”, dan penerapannya harus mengikuti situasi dan kondisi yang sesuai dengan kemaslahatan.
Ø  Mewajibkan seseorang untuk terikat pada satu madzhab, akan mempersulit umat. Hal ini sejalan dengan prinsip umum pensyariatan hukum islam, yaitu kemudahan dan kemaslahatan.
Ø  Pendapat yang mengatakan bahwa seseorang tidak boleh berpindah mazhab muncul dari kalangan ulama khalaf (muta’akhkhirin) setelah mereka dihinggapi penyakit fanatik mazhab. Membiarkan hal ini bukan saja menyebabkan umat islam terkotak-kotak dan pecah, tetapi juga menyebabkan fiqih menjadi beku dan kaku.
Ø  Membenarkan talfiq bukan saja akan membawa pada kelapangan, tetapi juga akan menjadikan fiqih selalu dinamis dan dapat menjawab tantangan zaman. Sebab pengkajian komparatif atas fiqih akan tumbuh subur dan dengan demikian, fiqih akan selalu hidup dan berkembang.
Ø  Membenarkan talfiq, dengan syarat bukan pada satu qadiah, bertentangan dengan realitas.
Ø  Kenyataan yang terjadi di kalangan Sahabat menunjukkan bahwa orang boleh meminta penjelasan hukum kepada sahabat junior, walaupun ada Sahabat yang lebih senior. Hal ini sudah merupakan ijma’ para Sahabat.

·         Menurut Al-Qaffal, manakala seseorang telah memilih suatu madzhab, maka ia harus berpegang teguh pada madzhab yang telah dipilihnya itu. Dengan kata lain ia tidak diperbolehkan berpindah, baik secara keseluruhan maupun sebagian, ke mazhab lain. Hal ini sama halnya dengan seorang mujtahid : manakala sudah memilih salat satu dalil, ia harus tetap berpegang pada dalil tersebut, karena dalil yang dipilihnya adalah dalil yang dipandangnya rajih, yang secara tidak langsung berarti bahwa dalil lain yang tidak dipilihnya adalah marjuh. Sehingga secara rasional hal itu mengharuskan ia mengamalkan dalil yang dipandangnya kuat itu. Demikian pula dengan muqallid, apabila telah memilih salah satu mazhab, berarti mazhab yang dipilihnya itu dipandangnya rajih secara ijmali. Secara rasional ia tentu harus tetap mempertahankan pilihannya itu.
·         Madzhab Syafi’iy tidak membenarkan seseorang berpindah mazhab, baik secara keseluruhan masalah atau dalam satu masalah saja.
·         Mazhab Hanafy membolehkan talfiq dengan syarat bahwa, masalah yang di-talfiq-an itu bukan dalam satu masalah, contoh :berwudhu menurut mazhab syafii, sedang pembatalannya menurut mazhab hanafi, atau menyapu muka dalam berwudhu menurut syafii, sedangkan mengusap rambut dalam hal berwudhu juga menurut mazhab maliki
Di Indonesia sendiri, kebutuhan akan hal tersebut nampak jelas, seperti terasa sewaktu menyusun Undang-undang Perkawinan (UU. No. 1/1974) : antara lain mengambil ketentuan di luar mazhab Syafi’i, yakni mengenai batasan umur waktu menikah, 18 tahun untuk wanita dan 21 tahun untuk laki-laki. Undang-undang tersebut juga tidak mengenai wali mujbir yang dianut mazhab Syafi’i. Demikian pula hukum waris, misalnya warisan dzawil arham, bagian cucu dari harta kekayaan kakeknya dalam kasus si ayah meninggal lebih dahulu sebelum kakeknya, dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa cucu tersebut dijadikan sebagai ahli waris pengganti.

D.    Hidayah
            Ustadz Aam Amirudin menjawab tentang hal ini didalam acara di salah satu stasiun televisi. Menurut pemaparan ustadz, hidayah itu terbagi menjadi beberapa pengertian yaitu:
1)      Hidayah Insting
Untuk bisa memahami Hidayah Insting, kita akan ambil contoh seorang bayi.  Ketika bayi itu lapar maka secara otomatis bayi tersebut menangis, padahal belum ada orang yang mengajarkan atau tanpa kita ajarkan pun, maka bayi akan tetap menangis ketika lapar, bahkan menurut penelitian terbaru ketika seorang bayi diletakkan di dada ibunya maka secara otomatis bayi tersebut akan mencari asi.
2)      Hidayah Panca Indera
Hidayah Panca Indera adalah sarana yang Allah swt telah berikan kepada kita berupa panca indera, baik penglihatan, penciuman maupun yang lainnya
3)      Hidayah Akal
Hidayah panca indera, adalah hidayah yang diberikan oleh Allah swt kepada seluruh makhluknya, bahkan kalau dibandingkan panca indera hewan ada yang lebih dari panca indera manusia, seperti penglihatan elang lebih tajam dibanding penglihatan kita sebagai manusia.   
Ada hal yang menjadi berbeda antara kita dengan makhluk Allah yang lainnya, yaitu akal. Akal inilah yang merupakan salah satu dari hidayah yang Allah swt telah berikan kepada kita
4)      Hidayah Agama       
Ketiga hidayah diatas merupakan hidayah yang sudah Allah berikan kepada kita, tetapi ketiga hidayah tersebut belumlah cukup, karena ketiga hidayah diatas memiliki keterbatasan. Hidayah agama inilah yang kemudian akan menuntun manusia ketika manusia diambang keterbatasan, sebagaimana microskop yang bisa membantu manusi melihat sesuai yang teramat kecil untuk dilihat oleh kasat mata. Hidayah agama terbagi menjadi 2, yaitu:
       I.            Hidayah Dilalah (Hidayah mempelajari agama/teori)
Hidayah ilmu pengetahuan yang bisa kita pelajari, seperti belajar tentang sholat, dan pelajaran lainnya yang bersikap keilmuan. Ketika seseorang memiliki ketertarikan dalam mempelajari ilmu agama, maka secara tidak langsung orang tersebut telah mendapat hidayah, tetapi bukan berarti ini bersifat pemberian, karena setiap kita pasti bisa untuk membaca atau mencari ilmu.
    II.            Hidayah Taufiq (Hidayah menjalankan perintah agama)
Hidayah dilalah bagi kita belumlah cukup, karena ilmu yang tidak diamalkan maka tidak akan memiliki nilai disisi Allah SWT. Kita memerlukan hidayah taufiq, adalah hidayah yang kemudian mendorong seseorang untuk mau beramal sesuai dengan pemahaman ilmu yang telah dipelajari, untuk bisa mendapatkan hidayah taufiq pun kita tidak boleh pasif, tetapi kita harus aktif membiasakan beramal, karena ketika seseorang sudah mulai beramal, maka akan muncul sebuah perasaan merasa kehilangan ketika tidak mengerjakan atau merasakan ketentraman dan kenyaman atas amalan ibadah yang dilakukannya.
Kesimpulannya adalah bahwa hidayah itu bukan sesuatu yang diberikan begitu saja tetapi sesuatu yang perlu kita usahakan, dan sarana-sarana untuk mendapatkan hidayah sudah Allah SWT sediakan buat kita.[5]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
ifta’ atau fatwa yaitu  “Usaha memberikan pennjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya”. taqlid “penerimaan perkataan seseorang sedangkan engkau tidak mengetahui dari mana asal kata itu”. "Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi’(orang yang mengikuti). talfiq adalah“Beramal dalam suatu masalah dengan hukum yang terdiri dari kumpulan (gabungan) dari dua madzhab atau lebih. hidayah itu bukan sesuatu yang diberikan begitu saja tetapi sesuatu yang perlu kita usahakan, dan sarana-sarana untuk mendapatkan hidayah sudah Allah swt sediakan buat kita.







DAFTAR PUSTAKA
·         Amir Syarifuuddin, Ushul Fiqh, 2001, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
·         Mukhtar Yahya & Fatchur Rahman, Dasar Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,1986, Bandung: Alma’rif.
·         Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan dua, 2010,   Jakarta: Kencana Predana Media Group.
·         http://Ridwanaz.com/islami/pengertian-hidayah.







[1] amir syarifuuddin, Ushul Fiqh, 2001, Jakarta:Logos Wacana Ilmu, hal.429
[2] Mukhtar yahya &Fatchur Rahman, Dasar Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, 1986, Bandung: Alma’rif, hal.403
[3]Basiq Djalil, ILMU USHUL FIQIH SATU DAN DUA, 2010, Jakarta:Kencana Predana Media Group, hal.202
[4] Basiq Djalil, ILMU USHUL FIQIH SATU DAN DUA, 2010, Jakarta:Kencana Predana Media Group, hal.207
[5]http://ridwanaz.com/islami/pengertian-hidayah











0 komentar:

Posting Komentar