IFTA’,
TAQLID, TALFIQ DAN HIDAYAH
D
I
S
U
S
U
N
Oleh
Heri Ananda : 211222438
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan
karunia-Nya makalah yang berjudul “Ifta’, Taqliq, Talfiq dan Hidayah” ini dapat diselesaikan
tepat pada waktunya. Makalah ini disusun sebagai tugas untuk mata kuliah Ushul
Fiqh.
Keberhasilan penulis dalam penulisan makalah ini tentunya
tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
terselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki,
untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya.
Banda Aceh, Desember 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Kata pengantar……………………………………….….……………………...…i
Daftar isi………………..…………………………………...……………..............ii
Bab I
Pendahuluan..................................................................................................1
a) Latar Belakang......................................................................................1
b) Rumusan Masalah.................................................................................1
Bab
II Pembahasan………………………..…………...……………………........2
a)
Ifta’, ......................................................................................................2
b)
Taqliq....................................................................................................4
c)
Talfiq ...................................................................................................7
d)
Hidayah.................................................................................................9
Bab
III Penutup…..………………………………………………………….......11
Kesimpulan.............................................................................................................11
Daftar
Pustaka…………..……………………………………………...………..12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
latar
belakang
Agama Islam yang diturunkan oleh Allah SWT melalui
Rasulullah SAW agar menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran
Rasulullah SAW diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat untuk menjadi
petunjuk bagi umat Islam. Petunjuk-petunjuk tersebut dapat dipahami melalui
sunnah Rasul. Sunah Rasul dipahami oleh para Sahabat dan para Tabi’in dalam
persepsi yang berbeda. Maka
itu semua menimbulkan berbagai ajaran dalam Agama Islam. Kemudian para
Imam-imam salaf As-Shaleh mencoba untuk menjelaskan kembali itu semua
dalam pandangan mereka yang intinya satu, yaitu ajaran Rasul. Sehingga dari berbagai
pandangan para ulama, maka lahirlah istilah mazhab.
Dalam perkembangannya, timbul permasalahan apakah
seseorang boleh untuk berpindah mazhab atau menggabungkan antara mazhab yang
satu dengan yang lainnya yang disebut dengan Talfiq. Kemudian dari
kaidah-kaidah yang telah dirumuskan oleh Imam Mazhab, muncullah
permasalahan-permasalahan baru. Oleh
sebab itu, diperlukan adanya fatwa-fatwa atas permasalahan tersebut demi
kemaslahatan bersama. Maka, dalam makalah ini, kami akan membahas tentang Taqliq, Talfiq dan
segala yang berkaitan dengan fatwa (Ifta’).
B.
RUMUSAN MASALAH
·
Ifta’
·
Taqliq
·
Talfiq
·
Hidayah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
IFTA’
Ifta artinya memberikan penjelasan,
secara definitif memang sulit merumuskan
tentang arti ifta’ atau fatwa itu, namun dapat di rumuskan sebagai berikut,
yaitu “Usaha memberikan penjelasan
tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya”.Dari
rumusan sederhana tersebut, dengan mudah diketahui hakikat atau ciri-ciri
tertentu dari berfatwa tersebut, yaitu :
a) Ia
adalah usaha yg memberikan penjelasan.
b) penjelasan
yang diberikan ialah tentang hukum syara’yang diperoleh melalui hasil ijtihad.
c) yang
memberikan penjelasan adalah orang yang
ahli dalam bidang yang dijelaskannya itu.
d) penjelasan
itu diberikan kepada orang yang bertanya yang belum mengetahui hukumnya
penjelasan tentang kriteria tersebut, sekaligus
menjelaskan rukun dari ifta, yaitu:
a) Ia
adalah usaha yg memberikan penjelasan.
ada pakar ushul
fiqh yang membandingkan ifta’ dengaan ijtihad, ia menyimpulkan bahwa ifta’ itu lebih khusus dari pada
ijtihad. kekhususan itu adalah: ifta’ dilakukan setelah orang bertanya,
sedangkan ijtihad dilakukan tanpa menunggu adanya pertanyaan dari pihak
manapun.[1]
Referensi lain mengatakan bahwa
ijtihad adalah usaha menggali hukum dari sumber dan dalilnya, sedangka ifta’
adalah usaha menyampaikan hasil penggalian melalui ijtihad tersebut kepada
orang yang bertanya. ifta
adalah salah satu cara menyampaikan hasil ijtihad kepada orang lain melalui
ucapan atau melalui perbuatan seperti ketukan palu seorang hakim di pengadilan
.
b) orang
yang menyampaikan jawaban hukum terhadap orang yang bertanya yang disebut
mufti. sifat
sifat ideal bagi seorang mufti adalah :
·
Kuat niatnya. Diharapkan bagi seorang
mufti dalam memberikan fatwa hanya semata-mata karenaa Allah.
·
berpengetahuan, sabar, penuh
hormat dan tenang. pengetahuan
merupakan modal yang sangat penting bagi seorang mufti.
·
kuat terhadap yang
dikuasainya dan terhadap yang diketahuinya. dan sebagainya yang
baik dalam agamanya.[2]
c) orang
yang meminta penjelasan hukum kepada yang telah mengetahui nya disebabkan oleh
ketidak tahuan tentang hukum suatu
kejadian (kasus) yang terjadi. orang ini disebut mustafti.
d)
materi jawaban hukum
syara’ yang disampaikan oleh mufti kepada mustafti yang diisebut Fatwa. Fatwa adalah hukum syara’ yang disampaikan oleh mufti
kepada mustafti, bukan hal hal yang
berada diluar hukum syara’. hukum syara itu adalah hasil ijtihad seorang
mujtahid.
Bagi orang Awam menanyakan masalah kepada para ahli
diperintahkan oleh tuhan dalam firmannya!
Artinya:
Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa
orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada
orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.
B.
TAQLID
1.
Pengertian
Kata Taqlid, fi`ilnya adalah Qallada,
Yuqallida, Taqliidan, Artinya mengalungi,meniru, mengikuti. Ulama ushul
fiqh mendefinisikan Taqlid “penerimaan perkataan seseorang sedangkan
engkau tidak mengetahui dari mana asal kata itu”.
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, Taqlid
ialah mengikuti pandapat orang lain yang dianggap terhormat dalam masyarakat
serta dipercaya tentang suatu hukum agama Islam tanpa memperhatikan benar atau
salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau mudzarat hukum itu.
Dan yang
berkaitan dengan taqlid adalah ittiba’.ittiba’ adalah mengikuti pendapat seseorang
baik itu ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai
oleh ulama tersebut. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : "Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya,
maka engkau adalah muttabi’(orang
yang mengikuti).
Menurut
ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan,
yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah
melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi
Muhammad SAW.
2. Hukum
Taqlid
1. Taqlid yang haram
Ulama sepakat haram melakukan taqlid
ini.Taqlid ini ada tiga macam :
a. Taqlid semata-mata
mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang
bertentangan dengan al Qur`an Hadits.
b.
Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan
keahliannya, seperti orang yang menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui
kemampuan, keahlian, atau kekuatan berhala tersebut.
c.
Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang
bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.[3]
2. Taqlid yang dibolehkan
Dibolehkan bertaqlid kepada seorang
mujtahid atau beberapa orang mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui hukum
Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan dengan persoalan atau peristiwa, dengan
syarat yang bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah
yang diikuti itu. Jadi sifatnya sementara. Misalnya taqlid sebagian
mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk
pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama.
Ulama muta akhirin dalam kaitan
bertaqlid kepada imam, membagi kelompok masyarakat kedalam dua golongan:
a.
Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu
pendapat dari keempat madzhab.
b.
Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan
bertaqlid kepada ulama-ulama.
Golongan awam harus mengikuti
pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar pendapat itu (taqlid
dalam pengertian bahasa).
3. Taqlid yang diwajibkan
Wajib bertaqlid kepada orang yang
perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan
perbuatan Rasulullah SAW.
3. Taqlid yang
Berkembang
Taqlid yang
berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid kepada buku,
bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal ( Imam Abu Hanifah,
Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali).
Jamaludin al
Qusini (W. 1332 H) : “segala perkataan atau pendapat dalam suatu mazhab itu tidak
dapat dipandang sebagai mazhab tersebut, tetapi hanya dapat dipandang sebagai
pendapat atau perkataan dari orang yang mengatakan perkataan itu”.
Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid
kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang
ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan
oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.
4.
Pendapat Imam Mazhab tentang Taqlid
a. Imam
Abu Hanifah (80-150 H) Beliau merupakan cikal bakal ulama
fiqh. Beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa jika orang itu
tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.
b.
Imam Malik bin Anas (93-179 H) Beliau melarang seseorang bertaqlid
kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai
kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus
diteliti lebih dahulu sebelum diamalkan.
c.
Imam asy Syafi`i (150-204 H) Beliau murid Imam Malik. Beliau
mengatakan bahwa “ beliau akan meninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia
mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW.
d.
Imam Hambali (164-241 H) Beliau melarang bertaqlid kepada
imam manapun, dan menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi
SAW dan para sahabatnya.Sedang yang berasal dari tabi`in dan orang-orang
sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu.Mana yang benar diikuti dan mana yang
salah ditinggalkan.
C.
TALFIQ
1) Pengertian Talfiq menurut bahasa
adalah menutup, menambal, tak dapat mencapai, dan lain sebagainya.Adapun
“talfiq” yang dimaksudkan dalam pembahasan ushul fiqh adalah “Beramal dalam suatu masalah
dengan hukum yang terdiri dari kumpulan (gabungan) dari dua madzhab atau lebih.[4]
2) Hukum
Talfiq Terdapat
beberapa perbedaan pendapat mengenai status hukum talfiq. Ada pendapat yang
membolehkan talfiq dan ada pendapat yang tidak membolehkan talfiq. Diantara
pendapat itu ialah :
·
Menurut
Al-Kamal bin Al-Humam, yang membolehkan
talfiq dalam segala hal, walaupun dalam soal ibadah dan dengan maksud mencari
keringanan, dengan alasan :
Ø Tidak
ada nas dalam al-Qur’an maupun Sunnah yang mewajibkan seseorang harus terikat
dengan satu pendapat atau madzhab seorang ulama tertentu. Demikian juga tidak
ada nas yang secara tegas melarang seseorang untuk berpindah mazhab. Yang ada
adalah nas tentang kewajiban orang yang tidak mengerti untuk bertanya kepada
ulama (adz-dzikr), sesuai dengan keumuman ayat : “Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan
beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah
olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.”
Ø Pada
hakikatnya, talfiq berlaku hanya pada masalah fiqhiyah (hasil ijtidah para Imam
Mujtahid). Dalam masalah ini berlaku kaidah “Ijtihad tidak dapat digugurkan
oleh ijtihad lain”, dan penerapannya harus mengikuti situasi dan kondisi yang
sesuai dengan kemaslahatan.
Ø Mewajibkan
seseorang untuk terikat pada satu madzhab, akan mempersulit umat. Hal ini
sejalan dengan prinsip umum pensyariatan hukum islam, yaitu kemudahan dan
kemaslahatan.
Ø Pendapat
yang mengatakan bahwa seseorang tidak boleh berpindah mazhab muncul dari
kalangan ulama khalaf (muta’akhkhirin) setelah mereka dihinggapi penyakit
fanatik mazhab. Membiarkan hal ini bukan saja menyebabkan umat islam
terkotak-kotak dan pecah, tetapi juga menyebabkan fiqih menjadi beku dan kaku.
Ø Membenarkan
talfiq bukan saja akan membawa pada kelapangan, tetapi juga akan menjadikan
fiqih selalu dinamis dan dapat menjawab tantangan zaman. Sebab pengkajian
komparatif atas fiqih akan tumbuh subur dan dengan demikian, fiqih akan selalu
hidup dan berkembang.
Ø Membenarkan
talfiq, dengan syarat bukan pada satu qadiah, bertentangan dengan realitas.
Ø Kenyataan
yang terjadi di kalangan Sahabat menunjukkan bahwa orang boleh meminta
penjelasan hukum kepada sahabat junior, walaupun ada Sahabat yang lebih senior.
Hal ini sudah merupakan ijma’ para Sahabat.
·
Menurut
Al-Qaffal, manakala seseorang telah memilih suatu
madzhab, maka ia harus berpegang teguh pada madzhab yang telah dipilihnya itu.
Dengan kata lain ia tidak diperbolehkan berpindah, baik secara keseluruhan
maupun sebagian, ke mazhab lain. Hal ini sama halnya dengan seorang mujtahid :
manakala sudah memilih salat satu dalil, ia harus tetap berpegang pada dalil
tersebut, karena dalil yang dipilihnya adalah dalil yang
dipandangnya rajih, yang secara tidak langsung berarti bahwa dalil lain
yang tidak dipilihnya adalah marjuh. Sehingga secara rasional hal itu
mengharuskan ia mengamalkan dalil yang dipandangnya kuat itu. Demikian pula
dengan muqallid, apabila telah memilih salah satu mazhab, berarti mazhab yang
dipilihnya itu dipandangnya rajih secara ijmali. Secara rasional
ia tentu harus tetap mempertahankan pilihannya itu.
·
Madzhab
Syafi’iy tidak membenarkan seseorang berpindah
mazhab, baik secara keseluruhan masalah atau dalam satu masalah saja.
·
Mazhab
Hanafy membolehkan talfiq dengan syarat bahwa,
masalah yang di-talfiq-an itu bukan dalam satu masalah, contoh :berwudhu
menurut mazhab syafii, sedang pembatalannya menurut mazhab hanafi, atau menyapu
muka dalam berwudhu menurut syafii, sedangkan mengusap rambut dalam hal
berwudhu juga menurut mazhab maliki
Di Indonesia sendiri, kebutuhan
akan hal tersebut nampak jelas, seperti terasa sewaktu menyusun Undang-undang
Perkawinan (UU. No. 1/1974) : antara lain mengambil ketentuan di luar mazhab
Syafi’i, yakni mengenai batasan umur waktu menikah, 18 tahun untuk wanita dan
21 tahun untuk laki-laki. Undang-undang tersebut juga tidak mengenai wali
mujbir yang dianut mazhab Syafi’i. Demikian pula hukum waris, misalnya
warisan dzawil arham, bagian cucu dari harta kekayaan kakeknya dalam kasus
si ayah meninggal lebih dahulu sebelum kakeknya, dalam Kompilasi Hukum Islam
disebutkan bahwa cucu tersebut dijadikan sebagai ahli waris pengganti.
D.
Hidayah
Ustadz Aam
Amirudin menjawab tentang hal ini didalam acara di salah satu stasiun televisi.
Menurut pemaparan ustadz, hidayah itu terbagi menjadi beberapa pengertian
yaitu:
1)
Hidayah Insting
Untuk bisa memahami Hidayah Insting,
kita akan ambil contoh seorang bayi. Ketika bayi itu lapar maka secara otomatis
bayi tersebut menangis, padahal belum ada orang yang mengajarkan atau tanpa
kita ajarkan pun, maka bayi akan tetap menangis ketika lapar, bahkan menurut
penelitian terbaru ketika seorang bayi diletakkan di dada ibunya maka secara
otomatis bayi tersebut akan mencari asi.
2)
Hidayah Panca
Indera
Hidayah Panca Indera adalah sarana
yang Allah swt telah berikan kepada kita berupa panca indera, baik penglihatan,
penciuman maupun yang lainnya
3)
Hidayah Akal
Hidayah panca indera, adalah hidayah
yang diberikan oleh Allah swt kepada seluruh makhluknya, bahkan kalau
dibandingkan panca indera hewan ada yang lebih dari panca indera manusia,
seperti penglihatan elang lebih tajam dibanding penglihatan kita sebagai
manusia.
Ada hal yang menjadi berbeda antara kita dengan makhluk Allah yang lainnya, yaitu akal. Akal inilah yang merupakan salah satu dari hidayah yang Allah swt telah berikan kepada kita
Ada hal yang menjadi berbeda antara kita dengan makhluk Allah yang lainnya, yaitu akal. Akal inilah yang merupakan salah satu dari hidayah yang Allah swt telah berikan kepada kita
4)
Hidayah Agama
Ketiga hidayah diatas merupakan
hidayah yang sudah Allah berikan kepada kita, tetapi ketiga hidayah tersebut belumlah cukup,
karena ketiga hidayah diatas memiliki keterbatasan. Hidayah agama inilah yang
kemudian akan menuntun manusia ketika manusia diambang keterbatasan,
sebagaimana microskop yang bisa membantu manusi melihat sesuai yang teramat
kecil untuk dilihat oleh kasat mata. Hidayah agama terbagi menjadi 2, yaitu:
I.
Hidayah Dilalah (Hidayah mempelajari
agama/teori)
Hidayah ilmu pengetahuan yang bisa
kita pelajari, seperti belajar tentang sholat, dan pelajaran lainnya yang
bersikap keilmuan. Ketika seseorang memiliki ketertarikan dalam mempelajari
ilmu agama, maka secara tidak langsung orang tersebut telah mendapat hidayah,
tetapi bukan berarti ini bersifat pemberian, karena setiap kita pasti bisa
untuk membaca atau mencari ilmu.
II.
Hidayah Taufiq (Hidayah menjalankan
perintah agama)
Hidayah dilalah bagi kita belumlah
cukup, karena ilmu yang tidak diamalkan maka tidak akan memiliki nilai disisi
Allah SWT. Kita memerlukan hidayah taufiq, adalah hidayah yang kemudian mendorong
seseorang untuk mau beramal sesuai dengan pemahaman ilmu yang telah dipelajari,
untuk bisa mendapatkan hidayah taufiq pun kita tidak boleh pasif, tetapi kita
harus aktif membiasakan beramal, karena ketika seseorang sudah mulai beramal,
maka akan muncul sebuah perasaan merasa kehilangan ketika tidak mengerjakan
atau merasakan ketentraman dan kenyaman atas amalan ibadah yang dilakukannya.
Kesimpulannya adalah bahwa hidayah
itu bukan sesuatu yang diberikan begitu saja tetapi sesuatu yang perlu kita usahakan,
dan sarana-sarana untuk mendapatkan hidayah sudah Allah SWT sediakan buat kita.[5]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
ifta’ atau fatwa
yaitu “Usaha memberikan pennjelasan
tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya”. taqlid “penerimaan perkataan seseorang sedangkan engkau tidak mengetahui dari
mana asal kata itu”. "Setiap
orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah
muttabi’(orang yang mengikuti). talfiq
adalah“Beramal dalam suatu masalah dengan hukum yang terdiri dari kumpulan
(gabungan) dari dua madzhab atau lebih. hidayah itu bukan sesuatu yang
diberikan begitu saja tetapi sesuatu yang perlu kita usahakan, dan
sarana-sarana untuk mendapatkan hidayah sudah Allah swt sediakan buat kita.
DAFTAR PUSTAKA
·
Amir Syarifuuddin, Ushul Fiqh, 2001, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
·
Mukhtar Yahya & Fatchur Rahman, Dasar Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,1986,
Bandung: Alma’rif.
·
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan dua, 2010, Jakarta: Kencana Predana Media
Group.
·
http://Ridwanaz.com/islami/pengertian-hidayah.
[1] amir syarifuuddin, Ushul Fiqh, 2001, Jakarta:Logos Wacana Ilmu,
hal.429
[2] Mukhtar yahya &Fatchur Rahman, Dasar Dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islam, 1986, Bandung: Alma’rif, hal.403
[3]Basiq Djalil, ILMU USHUL FIQIH
SATU DAN DUA, 2010, Jakarta:Kencana Predana Media Group, hal.202
[4] Basiq Djalil, ILMU USHUL
FIQIH SATU DAN DUA, 2010, Jakarta:Kencana Predana Media Group, hal.207
[5]http://ridwanaz.com/islami/pengertian-hidayah
0 komentar:
Posting Komentar